1
TIBA-TIBA saja kampungku demam olah kanuragan. Dari bapak-bapak sampai ke anak-anak. Tak terkecuali aku, salah satu anak-anak itu. Dan Mas Bono adalah salah satu pelopornya. Pegawai administrasi di sebuah kantor kepolisian itu, bapak satu anak yang santun, yang pendiam tetapi sangat aktif di segala kegiatan kampung, masuk mendaftar sebagai anggota sebuah perguruan tenaga dalam. Sebagai seorang panutan tentu saja tindakannya itu segera diikuti oleh warga lain. Maka beramai-ramai beberapa pemuda kampungku, setiap malam Selasa dan malam Jumat berangkat latihan di lapangan sebelah timur kampung. Lapangan sebuah institut keguruan terkemuka di kotaku. Beberapa teman sepermainanku juga turut. Aku tidak. Atau katakan saja belum. Aku hanya melihat di pinggir lapangan bagaimana mereka berlatih dengan tekun dan penuh semangat. Melihat mereka berbaris dan terpental-pental ke belakang tiap kali melintasi sebuah garis.
Sebenarnya aku ingin sekali ikut. Tapi bapak tak membolehkan. Aku belum cukup umur katanya. Bisa-bisa tenaga dalam yang nantinya kuperoleh akan kusalahgunakan, katanya dengan keras. Sebenarnya aku bisa menerima keberatannya jika saja ia tak mengizinkan adikku ikut perguruan tenaga dalam itu. Adikmu boleh karena ia tak akan menggunakan tenaga dalam itu untuk hal yang bukan-bukan. Lagi pula ia sakit-sakitan. Mungkin dengan ikut itu ia akan jadi lebih sehat. Begitu alasan bapakku yang tentu saja tak bisa kuterima begitu saja. Kalau soal Jaja yang sakit-sakitan, baiklah, tapi kalau soal penyalahgunaan tenaga dalam apa jaminannya? Jaja tak lebih baik dari aku. Ia juga nakal dan bengal. Malahan menurutku lebih daripada aku. Ia sudah beberapa kali berkelahi di sekolahnya sedang aku, sekalipun belum pernah. Dengan siapa pun. Kecuali Jaja. Tapi di mana pun kakak beradik selalu pernah bertengkar. Tentu saja aku tak berani mengemukakan keberatanku. Aku hanya memendamnya dalam hati. Dan mengeluarkan sakit hatiku hanya kepada Jaja. Sejak keikutsertaannya di perguruan tenaga dalam itu aku sama sekali tak menegurnya. Aku juga tak mau lagi berangkat sekolah bersamanya. Kami hanya berangkat bersama di depan mata bapak, dari rumah sampai, paling jauh, di batas kampung. Selanjutnya aku memilih jalan lain. Meski lebih jauh dan memutar.
Tapi hanya sebatas itu aku berani. Maksudku aku tak berani berkonfrontasi langsung dengan Jaja, sebagaimana sebelum-sebelumnya. Aku takut pada tenaga dalam yang mungkin sudah dikuasainya. Sebab sering kulihat ia menggoreng telur langsung dengan tangannya setelah malam pertama ia ikut latihan. Dengan santai ia memasukkan tangannya ke wajan penggorengan dan membolak-balik telur tanpa terlihat kepanasan. Kebencianku semakin hari semakin memuncak. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Dan hal ini semakin menajamkan kebencianku. Tapi biarlah. Toh, sekali lagi, tak ada yang bisa kulakukan. Selain membenci adikku sebenci-bencinya. Atau nonton latihan di pinggir lapangan sambil berharap bisa mencuri ilmu dari sana —meski rasa-rasanya tak mungkin; mereka merapal mantranya dalam diam.
2
SUDAH lama aku tahu bahwa kepergian bapak setiap malam Jumat bersama Mbah Atmo Kali bukanlah mencari bajing sebagaimana yang kerap dikatakannya. Ia tak pernah membawa bajing pulang ke rumah. Malah membawa benda-benda kecil yang disimpannya dalam kantong kecil dari kain mori. Aku tahu bukan karena diberi tahu. Aku mencari tahu. Diam-diam. Bahkan aku sudah membuka kantong mori itu dan memeriksa isinya satu persatu: Alquran sebesar ibu jari, gada besi berwarna kuning emas sebesar lidi korek api, keong tanpa lobang (aku pernah dengar Mbah Atmo menyebutnya dengan nama kol buntet), batu akik dan beberapa benda lain yang sama kecilnya. Kantong itu disimpan dalam lemari di ruang tamu. Di laci tengah bareng dengan 3 bilah keris warisan simbahku dari Solo. Tapi bukannya rasa ingin tahuku selesai sampai di situ. Malah muncul pertanyaan baru yang lebih memancing: dari mana bapak dan Mbah Atmo mendapatkan benda-benda mungil itu.
Membuntuti mereka bukan ide yang baik. Konyol sekali. Mereka naik motor aku cuma naik sepeda. Bertanya langsung lebih-lebih lagi, berarti mengaku bahwa aku telah membuka lemari pusaka tanpa izin siapa-siapa. Tapi siapa yang bisa membunuh pertanyaan? Jika tak ingin maka bunuh saja sebelum ia sempat lahir, kata ibuku. Waktu itu konteksnya bukan pertanyaan, tapi anak. Nggak tahu padanan ini pas atau tidak. Aku hanya mencuri dengar saja.
Aduh, seperti tak ada jalan untuk menuntaskan pertanyaan itu. Ada satu tapi mungkin buntu: bilang kepada bapak aku ingin ikut mencari bajing. Dan aku harus segera menyiapkan alasannya. Melambarinya sekuat mungkin. Setakmencurigakan mungkin. Tapi apa bisa? Hanya butuh dua hal: keberanian dan alasan. Satu lagi: keberuntungan. Dan saat yang tepat adalah liburan sekolah yang akan segera datang sebentar lagi. Mana ada saat yang lebih baik lagi? Mana ada alasan yang lebih masuk akal lagi. Mengisi liburan sekolah dengan menangkap bajing bareng bapak. Bisa untuk bahan pelajaran mengarang.
***
MENUNGGU datang saat yang tepat selalu mendebarkan. Dan seperti tahu kalau dirinya ditunggu-tunggu, ia berjalan pelan seperti tak ada seorang pun yang tengah menunggu. Sejak dulu selalu begitu. Hingga lahir kata sabar. Demikianlah, aku mencoba bersabar. Mengulang kata itu berkali-kali dalam batin meski hasilnya adalah sebaliknya: menjadi makin tak sabar. Makin geregetan dan blingsatan seperti kesurupan setan. Soalku dengan Jaja sejenak terlupakan. Dan ini cukup melegakan. Bagaimana pun ia adalah adikku, dan tidak pada tempatnya aku membencinya sedemikian rupa. Mungkin sedikit normatif, tapi demikianlah yang benar-benar kurasakan. Aku memang sering kali berlebihan, tapi aku tak pernah berusaha melebih-lebihkannya.
Terus-terang aku sudah hampir kelelahan ketika liburan yang kutunggu-tunggu itu benar-benar datang. Lelah bersabar. Lelah berdebar. Lelah gemetaran. Tapi kelelahan membuatku tak bisa berpikir banyak —ini menguntungkan. Aku jadi lebih berani dan lepas. Mau apa lagi? Sudah kadung lelah dan basah. Seperti lagu dangdut: telanjur basah, ya, sudah, mandi sekali...
Aku langsung bilang ke Bapak bahwa aku ingin ikut mencari bajing. Mumpung liburan sekolah. Kataku dengan berani meski tetap tak menengadah. Di luar dugaanku bapak langsung mengiyakan. Tapi jangan berisik, buru-buru ia mengimbuhkan.
Malam Jumat kami berangkat sehabis isya. Cuma kami berdua. Mbah Atmo Kali tidak ikut serta. Mungkin karena aku ikut dan naik motor bertiga akan membuat simbah-simbah itu tak merasa nyaman. Tapi bapak bilang Mbah Atmo sedang tak enak badan. Sementara malam itu mereka berencana mencari bajing di daerah Klaten. Jauh. Kira-kira sejam dari rumah. Motor bebek bapak bergerak dengan kecepatan penuh sesuai dengan batas kemampuannya yang tua dan sakit-sakitan. Jadi jangan bayangkan kami melesat membelah kegelapan malam dan hujan gerimis yang turun sejak sore hari. Senyatanya kami bergerak begitu lamban menyusur jalan Solo yang besar dan ramai. Begitu lamban apalagi dibandingkan dengan kendaraan lain yang bersliweran, malah-malah, menurutku lebih lamban dari hujan.
Kami sampai di Kali Wedi. Kali Pasir bahasa Indonesianya. Sehabis jembatan bapak memarkir motornya di pinggir jalan, agak menjorok ke dalam, dalam kegelapan. Lalu ia mengajakku menuruni tepian kali. Turunan yang cukup terjal, cuma jalan setapak yang gampang longsor pasir-pasirnya. Dalam gelap tentu jauh lebih menakutkan. Apalagi buat kanak-kanak sepertiku. Untung bapak bawa lampu sentolop, meski tak terlalu terang, lumayanlah buat pegangan. Perasaan cukup lama kami berjalan beriringan menuruni jalan setapak itu. Hingga kemudian sampailah di sebuah tempat yang lumayan datar persis di bawah jembatan.
Di tempat itu Bapak mengeluarkan isi tasnya. Sebuah mori, satu bungkus kembang setaman dan sebungkus dupa. Sambil menata uba rampenya, Bapak membuka pengakuannya —yang sesungguhnya sudah kuketahui— perihal mencari bajing. Kata Bapak mencari bajing adalah alasan semua orang tua untuk bisa pergi keluar rumah tanpa anaknya di luar jam kerja biasa. Kalau kerja alasannya pasti cari duit, tapi kalau keluar malam alasannya adalah mencari bajing. Iya sih, masak cari bajing di bawah jembatan, yang bener aja, batinku ketawa, bajing air, ha ha,....
Kain mori digelar di atas hamparan pasir. Lalu dupa dinyalakan. Raut wajah bapak menegang, meski dalam gelap aku bisa merasakan ketegangannya, setidaknya dari pola napasnya yang berubah. Kemudian adalah menunggu. Diam tanpa bicara sepatah pun. Penanda waktu kami adalah dupa satu ke dupa berikutnya. Tiap kali dupa habis Bapak menyalakan dupa berikutnya. Aku tak sempat menghitung berapa dupa yang telah dibakarnya. Aku bahkan hampir jatuh tertidur ketika tiba-tiba saja Bapak melompat menubruk kain mori yang sepertinya akan melesat pergi.
3
JAJA berangkat ke Banjarnegara. Mengikuti ujian kenaikan tingkat perguruannya. Cabang boleh di mana saja, latihan boleh di mana saja, tapi kalau ujian kenaikan tingkat, perguruan tenaga dalam itu mewajibkan seluruh muridnya untuk berangkat ke Banjarnegara, di mana perguruan itu bermula. Aku dan Bapak mengantar sampai di pinggir kampung. Sebuah bus besar telah menunggu di sana. Sebenarnya aku malas. Tapi Bapak mengajakku. Aku menurut saja. Tak ada alasan untuk tidak. Jika pun ada, alasan apa pun tak akan ada gunanya kalau harus berhadapan dengan perintah Bapak.
Sampai di sana sudah banyak orang. Dari kampung kami yang berangkat 32 orang, ditambah dari kampung sebelah sekitar 20-an orang. Ditambah para pengantar yang jumlahnya bisa tiga kali lipat membuat jalan pinggir kampung yang seharusnya lumayan besar itu tak bisa menunjukkan kebesarannya. Mata Jaja berkaca-kaca. Itu adalah perjalanan pertamanya sendirian tanpa didampingi sanak keluarga. Mau tak mau aku juga ikut berkaca-kaca. Bapak memeluk Jaja. Aku hanya menepuk-nepuk bahunya sekadar menenangkan. Juga menenangkan diriku sendiri yang tak tahu harus berbuat apa dalam situasi macam itu. Bapak kemudian memeluk kami berdua. Sampai sekarang aku tak pernah bisa menghapus ingatan itu, meski tetap kesulitan jika diminta menggambarkan bagaimana perasaanku waktu itu. Setelah kepergian ibu kami, baru di sanalah -- di jalan pinggir kampung yang berdebu dan di tengah kerumunan orang-orang -- aku menemui kembali apa yang disebut keluarga.
Jaja berangkat ke Banjarnegara. Aku dan Bapak pulang kembali ke rumah. Di tengah jalan saat belum tuntas keharuan kukemas, Bapak menggetarkanku lagi. Sehabis liburan sekolah aku boleh ikut latihan beladiri. Ingin rasanya aku memeluknya. Tapi Bapak tak ingin aku ikut perguruan tenaga dalam. Ia ingin aku ikut salah satu perguruan silat yang ada. Tapi jangan yang jauh-jauh. Pesan Bapak.
Malamnya aku mencari Budi, sepupuku. Aku pingin bertanya kepadanya di mana ada perguruan silat. Budi juga tak tahu. Tapi ia kenal salah seorang mahasiswa yang indekos di kampung kami yang ikut perguruan silat. Namanya Mas Agus. Dengan iming-iming bahwa aku akan membayari iuran latihan silatnya, Budi mau mengenalkanku dengan Mas Agus. Malam itu juga kami mencarinya. Dan sialnya ia sedang pergi keluar. Pulangnya pasti malam, kata Pramono, anak si empu rumah. Kami langsung balik ke rumah Budi. Aku agak malas berlama-lama dengan Pramono. Meski sekelas aku jarang bertegur sapa dengannya. Anaknya agak aneh. Suka mengintip celana dalam Bu Yus guru kami di kelas. Dan di jam istirahat ia selalu mengabarkan warna celana dalam itu kepada teman-temannya, termasuk aku. Hal itu membuatku tak nyaman bergaul dengannya. Bukannya aku tak senang mengintip celana dalam. Aku mau saja. Asal bukan celana dalam Bu Yus. Ingin rasanya aku memukul mulut Pramono tiap kali ia bercerita tentang celana Bu Yus. Tapi badannya yang besar dan kulitnya yang hitam legam membuatku selalu berpikir ulang. Lagi pula Bu Yus tak kehilangan apa pun. Aku hanya berdoa ia tak pernah tahu bahwa celana dalamnya, yang kata Pramono kebanyakan bolong-bolong, jadi tertawaan murid-muridnya pada tiap jam istirahat.
Malamnya kami kembali ke tempat kos Mas Agus. Ia baru saja sampai. Dari latihan di gelanggang kampus katanya. Segera Budi mengutarakan keinginanku. Malam itu juga kami diminta mengisi formulir pendaftaran. Kebetulan Mas Agus adalah satu pengurusnya, sehingga di kamarnya dia menyimpan banyak fotokopian formulir pendaftaran. Pembayaran uang pendaftaran dan kelengkapan lain macam pas foto bisa kami susulkan kemudian. Dan yang menggembirakan, keesokan sorenya kami sudah bisa ikut latihan. Sayangnya belum pakai seragam. Seragam harus kami pesan sesuai dengan ukuran badan kami. Bisa cepat. Bisa juga lama. Tergantung persediaan. Kata Mas Agus.
Malamnya aku tidur cepat. Agar cepat terbangun pada hari berikutnya. ***
Jogjakarta, 2008