SUDAH lama rumah ini kosong. Bagai ruang hampa dan pilu. Tak ada rerama atau suara apa pun berkeliaran mengisi sudut-sudut dinding. Sesekali hanya ada tiupan angin lirih dari lapisan atmosfer yang mencoba singgah barang sejenak. Amboi, sejuknya menyelinap ke liang jiwa. Lalu, sunyi kembali bertahta di setiap lantai dan bilik yang terdedah sejak lama. Pada malam-malam yang tak begitu dikehendaki kehadirannya, hanya ada suara burung malam yang sekadar lewat. Atau memberi salam di kegelapan yang sulit diraba.
Rumah ini kubangun untuk memerangkap kesunyianku. Setidak-tidaknya itu kulakukan sejak suamiku berpulang delapan tahun silam. Aku merasa dengan menempati rumah baru ini bermakna akan melepas semua kenangan masa lalu bersama lelaki yang pernah memperisitrikanku selama lima belas tahun. Banyak ceruk kenangan yang ternganga.
Tapi, apalah arti kenangan itu bila dihadapkan pada kenyataan hidup yang harus kulewati bersama dua putriku yang manis: Nadya dan Sarah. Aku harus bisa memupus semua bayang-bayang itu agar aku bisa bangkit kembali. Lebih-lebih lagi memberikan keyakinan pada kedua anakku bahwa perjalanan yang terbentang di depan mata begitu panjang. Banyak liku dan tikungan yang menyesatkan.
Aku tak mau dikalahkan oleh keputusasaan atau apa pun namanya yang justru dapat merenggut semangat hidupku. Begitulah Emakku selalu berpesan sejak belia dulu. Sebagai perempuan Melayu yang dibesarkan dalam hembusan angin pantai dan deburan ombak Selat Melaka, kami -anak-anaknya- harus tegar dan tegak dalam menghadapi setiap cabaran. Jangan pernah ada kata menyerah. Darah laut yang mengalir di tubuhku tentu saja cukup menumbuhkan ketegaran dalam situasi seperti apa pun. Aku percaya, darah yang sama mengalir pula di tubuh Nadya dan Sarah.
Boleh jadi ketegaran sikap itulah yang membuat diriku sama sekali tak menitikkan airmata saat melepas jasad suamiku di tempat peristirahatan terakhir. Meski tak dapat kusembunyikan kalau aku begitu kehilangan. Terutama selama setahun kemudian yang hanya kuisi dengan merenda hari-hari kosong.
Di batas penantian duka, aku tiba-tiba merasa perlu berontak. Aku perlu menghunuskan pedang keberanian. Orang-orang Melayu punya kebiasaan untuk mengendalikan emosi secara bertahap di dalam hidupnya. Ada masa-masa perlu merajuk. Kemudian mengaruk. Dan sampai pada puncaknya di titik amuk. Rasanya aku sudah seharus menunjukkan ketegaran sikap menghadapi hari-hari ke depan meski tidak sampai ke puncak amuk itu. Tapi, aku harus bangkit bersama kedua malaikat kecilku.
Bukan tidak ada, lelaki yang mencoba meraih simpatiku. Tapi, kehadiran mereka di dalam hidupku hanya sekadar mencoba-coba dan tak pernah sungguh-sungguh merenda hari-hari depanku bersama Nadya dan Sarah. Padahal, aku sudah berjanji dalam lubuk hatiku terdalam bahwa sisa masa depanku hanya buat mereka berdua. Semenjak itulah, aku coba bertahan. Aku benar-benar bagaikan menara suar di tengah empasan badai lautan yang tak pernah reda.
Aku bersyukur, hari-hari kosong itu masih bisa kuisi dengan bekerja di sebuah kantor penerbangan yang telah kujalani sejak masa masih jadi anak dara dulu. Bahkan, selama belasan tahun pula kuhabiskan waktuku sebagai pramugari. Oleh sebab itulah, tak ada kecemasan apa-apa yang kurasakan selama menjadi single mom ini. Bagiku sejak dulu, kepergian suami tak harus kutangisi karena selalu ada kehidupan baru yang lebih menantang untuk kutaklukkan dengan segala kemampuan yang kumiliki.
Pemberontakan untuk bangkit menghadapi masa depan itulah yang membuat aku harus memutuskan mata rantai semua masa lalu. Apa yang sudah kujalani sebelumnya, tak perlu kuungkit lagi. Bagai buku, aku sudah tamat membacanya. Dan aku tak hendak mengulanginya. Aku berbicara dari hati ke hati dengan Nadya dan Sarah bahwa kami harus pindah dari rumah yang telah mengguratkan jejak sejarah cukup lama ketika ayah mereka masih hidup dulu. Kuputuskan agar rumah itu kujual sehingga tak ada lagi sisa- sisa masa silam itu terbawa serta dalam kehidupan kami yang baru. Tak bakal ada potret suamiku bergelantungan di setiap bidang dinding rumah.
Keputusan sikap itulah yang mengantarkan aku bersama kedua putri kesayanganku untuk membangun rumah baru. Kulakukan semua ini dengan segala daya yang kupunya. Hasil penjualan rumah lama memang tak mencukupi sehingga aku harus mengambil tabungan yang kupersiapkan bagi masa depan anak-anakku. Rumah baru ini benar-benar meniupkan semangat baru dalam ruh dan nadiku. Aku ingin mengubur semua sisa masa silam agar tak merenggutku kembali ke kedukaan yang tak bertepi. Aku juga memutuskan untuk mengubur album foto dan semua aksesoris suamiku dulu agar aku benar-benar bebas-luncas.
Rumah yang kutempati ini memang tak begitu besar. Namun, bagiku sudah cukup untuk menenteramkan perasaan kami bertiga. Selang dua tahun rumah ini kami tempati, tanpa kusadari muncul perasaan yang selalu membangunkan tidurku. Apalagi, Nadya dan Sarah selalu menyentakkan perasaanku itu.
"Semua teman Nadya punya ayah. Tapi, Nadya sendiri tak punya. Kapan ya Nadya dan Sarah bisa punya ayah lagi...?" Itulah kalimat yang sering diucapkan Nadya yang makin memahami perlunya kehadiran seorang ayah buat dirinya dan adiknya Sarah. Sementara Sarah yang masih belum lancar berbicara, kurasakan getar nadi dan tatap matanya merindukan hal yang sama. Aku hanya tertunduk lesu sambil menahan airmata iba yang sulit kubendung. Meski sebenarnya, bagi diriku, tak terlalu memikirkan hadirnya seorang suami lagi.
Biasanya aku hanya bisa menengadahkan telapak tangan untuk berdoa setiap usai sholat. Lebih-lebih lagi, setelah aku melaksanakan sholat tahajjud di tengah malam. Aku hanya bisa meminta pada Allah agar aku selalu diberi ketabahan menghadapi kesendirian di dalam hidup ini. Lebih dari itu, andaikan Allah bermurah hati, tentu saja aku masih berharap akan kehadiran seorang lelaki yang bisa memahami perasaan kami bertiga dan punya tanggungjawab dan cinta bagi masa depan kami. Tapi, andaikan permohonanku tak terkabul, aku sudah sampai pada batas pasrah. Apalagi, usiaku sudah tidak muda lagi.
Sejak itulah, rumah ini kusebut rumah rindu. Sebuah rumah yang selalu me- rindukan seorang lelaki untuk hadir dalam kebersamaan kami. Tapi entah kapan. Aku tak punya tenggat yang pasti. Seperti jodoh dan maut yang boleh datang dan pergi kapan saja. Bagiku, tak ada batas penantian. Sebab aku merasa sebagai seorang perempuan yang matang. Oleh sebab itu, aku berjanji dalam hati hanya bisa menanti dan menanti. Bagai setangkai kembang yang menantikan hinggapnya seekor kupu- kupu yang akan menari-nari di kelopak mahkota menggugurkan benang sari.
Tuhan memang tak pernah tidur. Begitulah keyakinanku sejak dulu yang pernah diajarkan Emak. Selalu ada harapan, bila seseorang mau berdoa dan berusaha. Orang-orang Melayu sejak kecil sudah diajarkan bagaimana menyikapi hidup secara lebih sederhana tetapi pasti. Anak-anak belia tidak boleh putus asa menghadapi masa depannya.
Aku pun bertemu dengan Salim, seorang lelaki dari masa silamku. Masa yang sudah cukup lama kutinggalkan. Seperti diriku, Salim juga sudah beristri. Bahkan sudah punya empat orang anak yang sebagian sudah menjelang besar. Sayang, rumahtangga Salim sedang dilanda badai pula. Aku melihat airmukanya pertamakali begitu lusuh karena dihimpit beban persoalan.
"Aku sudah di ambang perceraian," ucapnya tiba-tiba tanpa kukehendaki.
Pertemuan tak terdugaku dengan Salim di sebuah perhelatan pernikahan teman kami, benar-benar kembali merajut tali-kasih yang sudah lama teputus. Aku merasa bagai menemukan diriku kembali. Bagaikan pinang kembali ke tampuk atau sirih pulang ke raginya. Kami merasa sesuai saja meski kami datang dengan sikap dan kepribadian masing-masing.
Beberapa tahun hubunganku dengan Salim dari jarak yang berjauhan ternyata makin memperteguh rasa cinta kami. Kami bangun hubungan itu dengan segala ketulusan dan kejujuran. Aku juga makin mendekatkan kedua putriku pada Salim agar suatu ketika bila kami berjodoh, tentulah tak perlu merasa canggung lagi.
Begitulah, saat Salim pertama datang mengunjungiku, aku tak ragu mempersilakan lelaki itu datang ke rumah rindu ini. Apalagi, aku sudah berbicara dari hati ke hati dengan kedua putriku. Mulanya mereka agak gugup tapi kemudian bisa memahami perasaanku. Di dalam hati mereka, tentulah kehadiran Salim menjadi bagian menentukan dalam merajut mimpi mereka agar punya seorang ayah lagi di rumah ini.
Sengaja kupersiapkan sebuah kamar kosong dengan katil yang terdedah. Kuhiasi semua dinding kamar itu dengan bunga-bunga. Penuh wewangian. Kamar itu pun sudah lama pula kosong dan sunyi. Aku bertekad akan membiarkan kamar itu tak berpenghuni sampai kapan pun. Sampai aku menemukan seorang lelaki yang kupercaya boleh bersemayam di rumah rindu ini.
"Salim, kaulah lelaki pertama yang menempati rumah rindu ini...," ucapku setengah berbisik saat berada dalam pelukan lelaki itu.
Salim tampak tersenyum merekah. Bahagia.
"Kaulah bidadariku kini. Bidadari abadi," sahut Salim tanpa ragu-ragu.
"Aku bahagia, Lim. Selama ini kujaga kesucian kamar kosong ini sebagaimana aku menjaga kehormatanku. Semua itu hanya kupersembahkan untuk seseorang yang kuyakini menjadi imam di masa depanku. Kaulah jadi imamku kini"
"Sungguhkah itu?"
Aku mengangguk sambil mengelus lembut pipi lelaki itu.
Sungguh, aku sangat bahagia menerima kehadiran Salim. Meski aku tahu, tak mudah baginya untuk merajut benang kasih ini. Lelaki itu harus meninggalkan istri dan empat anaknya yang telah mendampinginya selama hampir seperempat abad. Tapi begitulah kata Emak dulu, memberikan petuah agama bagi kami- enam orang anak-anaknya- bahwa rezeki, jodoh, pertemuan, dan maut hanya semata di tangan Allah. Orang-orang Melayu yang sedari dulu sangat agamis percaya betul akan petuah dan pantang-larang semacam itu. Tak seorang pun yang berani membantah. Termasuk aku.
Boleh jadi, perkawinan Salim dengan istrinya memang sudah sampai di tapal batas sesuai jalan takdirnya. Siapa pula yang hendak membuat helah di penghujung usia yang hanya mendambakan kebahagiaan dan kedamaian? Tentu, Salim faham betul soal itu. Kalaupun dia memutuskan untuk ber- pisah dengan istrinya, pastilah karena ia sudah tak mampu lagi berundur barang sejengkal pun. Hidup ini memang banyak menawarkan pilihan-pilihan. Demi kenyamanan, hanya ada sebuah pilihan yang paling menegarkan jiwa dan perasaan.
Berhari-hari Salim mendampingiku, Nadya dan Sarah di rumah rindu ini. Perasaan Salim begitu teduh sehingga tak terbersit sedikit pun awan keruh yang menaungi pikirannya. Ia begitu terbebas dari derita yang dialaminya bertahun-tahun. Ia benar-benar mampu menumpahkan kasih-sayang yang selama ini bagai lahar yang tersumbat di liang kepundan hatinya. Kini, Salim bergerak bebas-luncas membawa diri dan perasaan tanpa beban. Bagai burung sore yang melayang-layang menyusuri awan dan embusan angin dingin.
"Andaikan kita bertemu sepuluh tahun lalu...," desis Salim tanpa sadar.
Aku terkesima. Bayang-bayang sepuluh tahun itu menjelma tiba-tiba dalam kehidupanku... Tapi, tidak! Aku tak mau berandai-andai. Sebab, pada masa itu aku masih ter- ikat tali perkawinan dengan suamiku. Meski jujur kukatakan, aku tak begitu bahagia. Namun, aku masih bisa ber- tahan dengan segala keperihan. Aku sudah berjanji dalam hatiku sedari kecil, hanya akan menikah sekali. Kecuali, maut yang memisahkan kami.
Rumah rindu ini kini terasa kian bercahaya. Malam-malam yang biasanya hanya dipenuhi suara burung malam dan jangkrik kesepian, kini sudah ada Salim menemaniku, Nadya dan Sarah. Malam kian penuh rona dan warna. Penuh senyum dan tawa.
"Tin, sejak hari ini, kuhapus semua nestapa di wajahmu. Aku akan mencintaimu dalam segala suka dan duka di bawah naungan ridha Allah...," bisik Salim usai upacara akad nikah.
Aku tertunduk dalam pelukan Salim.***
Pekanbaru-Denpasar, 0708
Cerpen Fakhrunnas MA Jabbar Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan Silakan Kunjungi Situsnya! 07/06/2008