Ia serasa mencium aroma gulai-paku, juga opor ayam, buatan ibu. Salah satu di antaranya sedap dijadikan pasangan ketupat, menguahi ketupat hingga basah-kuyup disertai rumbai daun paku alias pakis, atau opor daging ayam yang tampak memutih; tinggal pilih. Soalnya, kata ibu, "Jangan kau campur keduanya. Rasanya akan jadi lain tapi tak saling menguatkan. Bila mau, kau makan saja bergantian." Tapi sekali tempo dia isi piring dengan ketupat banyak-banyak, lantas dia kuahi dengan gulai-paku, opor ayam, tambah kalio-hati, berikut sepotong rendang serta dedaknya. Sebelum sendok pertama dia lakukan dikudapnya perkedel sehingga pipinya menggembung.
"Eh, kok dicampur-campur begitu," tegur kakak perempuannya.
"Ala, dalam perut juga bakal campur-aduk, Kak!"
"Ya. Tapi di lidah... bagaimana rasanya?"
Ia tak menjawab. Ia tak mampu merumuskan rasa yang dicecap lidahnya. Tapi ulahnya memang tak didasarkan pada rasa. Di meja makan, di hari Lebaran itu banyak sekali makanan, terhidang bagai di rumah makan Famili Andalas langganan ayah. Di samping ketupat, gulai-paku dan opor ayam yang aromanya aduhai itu, ada rendang, gulai- otak dengan irisan-irisan daun tapak-leman, dendeng batokok, dendeng balado, semur yang potongan kentangnya besar, kalio-hati, kalio-paru. Sementara dia sudah sebulan berpuasa, menahan diri. Jadi, inilah hari pembebasan sekaligus balas dendam. Karena itu, jikapun ada sayur bayam atau pucuak-ubi dan sambalado-tukai kegemaran ayah, dia lirik pun tidak. Biarlah, itu untuk ayah dan ibu yang gemar makan sayur!
Herannya, kenapa yang lainnya, terlebih ayah dan ibu bagai tidak menyimpan dendam-kesumat terhadap lauk-lauk itu? Kenapa? bagai ia seorang yang didesak entah oleh apa, begitu kuatnya, untuk melahap semua makanan sedap itu?
Juga mengherankan, walau ibu serta saudara-saudara perempuannya lebih dulu tiba di rumah seusai shalat Ied di lapangan kota mereka, orang- orang tercinta itu tak buru-buru makan. Aneh benar. Selalu mereka menunggunya. Karena ia pulang dengan ayah serta abangnya? Tapi, pernah hanya ia yang terlambat pulang, karena makan sate dengan teman-teman di pinggir lapangan selesai shalat dan tiba di rumah, semua telah menunggu. "Ayo, ayolah," ajak ayah, dengan suara tetap terdengar sabar. Dan mereka makan. Ia mengawalinya dengan ketupat dan gulai-paku, atau opor ayam. Soalnya, kata ibu, "Jangan dicampur-campur. Rasanya akan jadi lain bila dicampur, tetapi tidak saling menguatkan. Makan saja bergantian bila masih mau."
Ketupat gulai-paku atau ketupat dengan opor ayam itu memang langkah awal saja. Atau, katakanlah makanan pembuka. Sebelum meninggalkan rumah, dengan baju baru dan air muka cerah berseri-seri, dia hadapi pula terlebih dulu lauk-lauk lain yang menantang itu. Kali ini ditemani nasi. Kemudian pergi ke rumah sanak-keluarga. Dan, di sini pun telah menanti rupa- rupa makanan. Makan lagi, bermain lagi, makan lagi....
Setelah dewasa, merantau lalu berumah tangga, rasanya soal-soal itu juga yang mengimbau-imbau agar dia tetap mudik setiap Lebaran. Di samping kerinduan bersua sanak-keluarga dan teman-teman masa kecil. Pun suasananya, yang membuat Lebaran terasa lebih berarti bak di saat-saat kecil yang jauh itu; dan dengan begitu sebetulnya yang ia jumpai pun tak akan pernah pas lagi. Tetapi, paling tidak ada yang tersegarkan tiap kali mudik ke kota kelahirannya yang kecil di pegunungan itu, setelah sehari-hari bertarung dengan kecepatan serta pengap kota besar semacam Jakarta.
*
Ah, ia serasa mencium aroma gulai-paku, pun opor ayam buatan ibunya, yang terhidang di meja makan bak menantang. Kuahnya masih mengepulkan uap ke udara. Ada juga rendang, dendeng-balado, dendeng-batokok, kalio-hati, pangek dengan alas kacang-panjang dan entah apa lagi, banyak sekali. Dan tentunya juga ketupat; ketupat-pitalah namanya, yang ukurannya dua kali ketupat biasa. Di meja lain di ruang makan dan di ruang tamu, dia lihat kue-kue di dalam stoples-stoples. Jenisnya macam-macam, juga rupa serta warnanya. Kuning, krem, cokelat, putih....
Masakan serta kue-kue itu buatan ibu, dibantu saudara-saudara perempuannya, yang frekuensi kesibukan mereka di dapur terus meningkat seiring mendekatnya hari Lebaran. Dan begitu terus setiap tahun, menjelang Hari Raya.
Ia tersenyum menyaksikan semua makanan itu, terutama gulai-paku dan opor ayam. Ia meliuk-liuk, mungkin juga berkata-kata, sampai sentuhan lunak ia rasakan di bahunya, menggoyang-goyang. Lalu istrinya berucap, "Bang, Bang! Bangun! Abang mimpi!" Bahkan setelah bayangan aneka makanan itu lenyap serasa masih diciumnya aroma gulai-paku dan opor ayam itu. "Aku mencium ketupat gulai-paku buatan ibu," ia bilang. "Aku mencium aroma opor ayam buatan ibu."
Istrinya tersenyum lunak, menarik napas, mengusap-usap rambutnya. "Hampir pukul tiga, Bang. Bangunlah, Abang bermimpi," katanya.
"Ya. Tapi masih kucium aroma gulai-paku buatan ibu." Ia mengendus-endus.
"Bangunlah, shalat malam," balas istrinya. "Segera aku siapkan makan sahur." Perempuan itu lalu turun dari tempat tidur, berjalan ke pintu tetapi kemudian menoleh kembali. Ia telah duduk di pinggir ranjang. "Abang belum mengabari ibu," perempuan itu berkata. "Teleponlah habis sahur nanti. Lebaran tidak lama lagi, Abang belum juga berkabar kita tidak bakal mudik. Orang tuaku sudah kuberi tahu. Teleponlah ibu, usai sahur."
Ia cuma mengangguk, perlahan dan tetap duduk. Lebaran kali ini mereka sudah pasti takkan pulang, tak bisa mudik. Untuk pertama kali setelah sekian tahun, belasan tahun. Atau, lebih dua puluh tahun? Dua anaknya, si kembar, akan kuliah tahun muka. Adik mereka, saatnya masuk SMU. Berapa itu semua biayanya? "Mahal benar biaya sekolah sekarang, Bang. Apalagi kuliah. Waduh, mahal sekali!"
"Ya. Tapi kita kan ada tabungan."
"Eh, belum tentu cukup itu, Bang! Lagi pula masak mau dikuras semua. Kalau ada apa-apa nanti, bagaimana!"
"Ya, ya. Sabarlah. Toh masih ada waktu hingga tahun muka."
"Nah, itu maksudku! Karena itu, dari sekarang harus kita hemat-hemat semua. Yang wajib saja dibiayai, lainnya tidak. Pangkas, atau tunda sampai keadaan lapang!"
Ia tersenyum melihat semangat istrinya menggebu-gebu. "Eh, misalnya apa yang lain-lain itu?" tanyanya masih tersenyum.
"Ya, apa saja. Termasuk mudik Lebaran tahun ini!"
"Puasa masih sebulan lagi, mudik Lebarannya sudah dipastikan tidak?"
"Habis, bagaimana. Hayo!"
Betapapun terperangah juga dia. Mudik di hari Lebaran boleh jadi memang tak wajib, sunat juga entah. Tetapi, setelah sekian lama, setelah berulang- ulang dilakukan? Ah, rasanya ada yang hilang, yang menyesak di dada. Sanak-saudara itu, teman-teman lama itu, yang cuma setahun sekali bisa bersua. Dan juga, suasana di kota kelahiran di pegunungan itu. Begitupun ketupat gulai-paku buatan ibu, atau opor ayam....
Sempat tercetus di benaknya menyesali pemerintah, para pejabat, dan politisi, yang di matanya hanya sibuk mempertahankan atau mencari kekuasaan. Dan, korupsi, melipat uang rakyat. Makanya, "Sudah enam puluh tahun lebih merdeka, kok biaya pendidikan semakin mahal. Orang melarat pun semakin banyak," ucapnya di hati.
"Eh, kok malah melamun. Salat malamlah, Bang!" istrinya menegur, diiringi senyum. "Aku siapkan santap sahur sekarang."
Sebetulnya, wanita itu tahu yang dia lamunkan dan merasa kasihan kepadanya. Ia sendiri merasakan hal yang sama. Tetapi, bagaimana lagi? Mereka harus realistis. Berhemat. Terus berhemat. Anak-anak harus dapat pendidikan yang baik, yang lebih tinggi. Sekarang saja tuntutan zaman telah begini berat, bagaimana pula nanti. Anak-anak akan tersisih kalau tidak punya bekal pendidikan yang baik, dan akan jadi beban masyarakat; sesuatu tentunya hina.
*
Ia mendengar suara ibunya di subuh pagi seusai sahur itu, di ujung sana, dan seiring itu lagi-lagi diciumnya aroma ketupat gulai-paku, pun opor ayam. Serasa ingin ia sampaikan hal itu kepada ibunya, namun yang terucap justru tanya, apakah ibu sehat saja, apakah dapat menjalankan puasa Ramadan tahun ini dengan baik.
"Alhamdulillah, Nak, masih diberi kelapangan aku oleh Tuhan berpuasa bulan Ramadan ini, meskipun umur telah delapan puluh empat. Eh, kalian bagaimana? Ada sehat anak-anakmu, istrimu, dan kau sendiri? Selalu aku doakan kalian, Nak."
"Terima kasih, Bu. Alhamdulillah, sehat kami semua."
"Syukurlah. Saudara-saudara dan para kemenakanmu di sini pun begitu."
"Ya." Dan dia mulai tertegun. Setelah sekian tahun, belasan dan mungkin juga lebih 20 tahun... Ah, alangkah ganjil, dan juga berat, untuk menyampaikan tidak akan mudik, tidak dapat mudik.
Dan, ibu yang arif itu tiba- tiba bertanya, "Apa yang ingin kau sampaikan Nak? Nafasmu terdengar berat, tak lancar. Apa masalah yang tengah kau hadapi?"
Ia tarik napas dalam-dalam, berusaha agar tidak berbunyi, lalu berucap, "Cucu Ibu, Aya dan Ayu bakal kuliah tahun muka. Adik mereka Lintang masuk SMU pula."
"Oh, tak terasa sudah besar-besar saja mereka. Eh, berhemat-hematlah kalian dari sekarang."
"Ya, Bu. Tentu, tentu begitu." Ia menarik napas. "O, ya, sehubungan dengan itu, Bu. Agaknya... tampaknya, tak dapat pulang kami kali ini." Ia seolah melepaskan beban yang amat berat usai mengucapkan kalimat yang tertegun-tegun itu. Seperti ada debu masuk ke mata.
Di luar dugaan, perempuan tua di ujung sana itu justru ia dengar tertawa lunak. Ia bayangkan pula senyuman di bibir ibunya. "Alhamdulillah," ujar ibunya. "Malah girang aku mendengar kau mendahulukan yang wajib, Nak. Memang mestinya begitu, utamakan kewajiban- kewajibanmu lebih dulu. Anak-anakmu, juga pendidikan mereka adalah kewajibanmu bukan?"
"Ya, Bu. Tapi...."
"Eh, bila keadaanmu sudah lapang kau toh masih dapat pulang juga, kan? Lagi pula, Hari Raya nanti dapat kau hubungi Ibu atau saudara-saudaramu dengan telepon. Bisa kita bercakap-cakap, bisa kudengar suara kau, anak-anak, dan istrimu. Utamakan dulu kewajibanmu, Nak."
Dia rasakan sesuatu naik di kerongkongannya, menyekat. Dan aroma ketupat dengan gulai-paku, atau opor ayam buatan ibunya, kembali merebak. Matanya panas, namun jauh di dalam ada yang bangkit di hatinya untuk menyambut pagi, menyambut hari. ***
Jakarta, 1 September 2008
Cerpen Adek Alwi Silakan Simak!
Dimuat di Suara Pembaruan Silakan Kunjungi Situsnya! 10/05/2008