"... dan adalah aku berasal dari perut bumi, yang kemudian dimuntahkan lewat kawah-kawah gunung, menjelma debu, pasir dan batu-batu. Itulah sebabnya, aku menyimpan seribu satu dongeng yang bisa kau jadikan permata hidupmu...," bisikan itulah yang dengan jelas selalu menggema di lorong telinganya, melekat erat pada sanubarinya yang bening.
Dia berjalan, seperti meneliti setiap jengkal tanah yang akan dilaluinya. Di matanya, seolah setiap butir kerikil, atau pasir, bahkan debu sekalipun adalah penting. Terkadang, dia terdiam di sebuah titik, seperti mengamati, mengajak bicara pada sesuatu yang dipandanginya, kemudian tersenyum, bahkan tertawa riang. Lalu, tangannya mulai mengorek-orek tanah, mengeluarkan sebungkah pecahan batu, membersihkannya dari sisa tanah dan menempelkannya ke telinga kanannya.
"Dia bercerita... dia bercerita...," bisiknya riang entah kepada siapa. Orang-orang yang dijumpainya ada yang berpura-pura gembira meskipun tak sepatah pun kata yang bisa dipahaminya, ada yang acuh tak acuh, ada yang agak-agak takut, ada pula yang menganggapnya kurang waras.
Dan demikianlah, kisah-kisah purba tentang manusia mengalir ke dalam jiwa anak laki-laki itu. Kisah-kisah itu kadang membuatnya tertawa riang, berjingkrak-jingkrak terbawa gelombang bahagia, tetapi sering kali juga membuatnya menangis tersedu-sedu di gardu jaga, pojok jalan desa.
"Hei, Dul! Lagi ngapain, kamu?' tiba-tiba ada yang menegurnya.
Anak laki-laki yang beranjak remaja itu diam saja, seperti tak mendengar apa-apa, kecuali kisah indah tentang Dewi Indradi, yang dikutuk suaminya menjadi arca batu.
Dua orang anak sebayanya, yang salah satunya menegurnya, mendekat; mereka merasa mendapat 'mainan' baru. "Ooo... dia punya HP baru... tuh," ucap salah satu di antara mereka yang dijawab dengan gelak tawa.
"Dul... pinjam HP-mu, bisa main game, kan?'' kata salah seorang sambil mencoba mengambil batu yang masih ditempelkan di telinga itu. Anak laki-laki yang dipanggil 'Dul' marah. Mulutnya mengeluarkan ancaman, tetapi yang didengar sebagai lompatan gumam tak jelas oleh kedua temannya.
"Hinjem, hoheh, hak?" ucap salah seorang meledek.
Anak laki-laki yang masih menempelkan batu ke telinganya itu masih meracau, berusaha menghindar dan protes keras ulah kawan-kawannya.
"Sebagaimana kau tahu, kedua anakku itu berebut cupu manik, seperti dua ekor kera berebut makanan. Itu membuatku terkejut, bagaimana mungkin anak manusia bersikap seperti hewan. Begitulah kata Indradi," bisik batu itu kepada anak laki-laki itu.
Dari kejauhan, kedua kawannya berteriak dan tertawa-tawa mengejek, "hoooi... ha-hi-ho- heh... hoeh, hwehhhh... hahahahah."
Tetapi, anak laki-laki dengan batu yang ditempelkan di telinganya itu tetap tak peduli; mungkin memang tak mendengar. Barangkali saja alam membentengi pendengarannya dari suara-suara buruk yang akan masuk ke dalam sanubarinya.
"Bagaimana Indradi, yang seperti katamu, bersuamikan pertapa sakti, bisa berubah menjadi arca batu?" tanya anak laki-laki itu kepada sebungkah batu yang menempel di telinganya. Dan sebungkah batu itu pun mulai berkisah, mengajak anak laki-laki muda itu berjalan menyusuri sebuah dunia yang belum pernah dialaminya.
"Indradi adalah perempuan cantik. Rambutnya legam dan, jika terurai, harumnya membuat melati malu. Matanya, jika memandang, membuat bahkan dewa matahari pun meredup, terpikat kecantikannya. Dia dinikahi suaminya ketika usianya masih sangat muda."
"Kok mau?"
"Jangan banyak tanya sebelum kutuntaskan ceritaku."
"Hehehe... kamu memang batu sejati, kalau sudah maunya, ya, maunya terus yang dijalani... lanjut."
"Dia punya tiga anak: yang pertama Anjani, perempuan; yang kedua si kembar Guwarsa-Guwarsi, laki-laki. Suatu kali, Anjani mengetahui bahwa Indradi punya mainan ajaib berupa cupu manik, yang bila dibuka tutupnya, kau bisa melihat berbagai tempat di bumi maupun di surga ini. Anjani sangat suka. Ketika kedua adiknya tahu mainan itu, mereka berebut mau pinjam. Mereka bahkan hingga berkelahi memperebutkan cupu manik tersebut, sampai-sampai ayah mereka, sang begawan Gotama, marah. Cupu manik diminta, dan dilemparkan ke angkasa... hilang. Lalu menelisik jawaban atas huru-hara itu. Sampai pada istrinya dan sang istri diam saja."
"Kenapa diam?"
"Karena sesungguhnya dia memiliki sifat batu: diam."
"Pasti ada yang disembunyikan."
"Memang."
"Kenapa tidak diucapkan saja?"
"Dan, jika ucapan kebenaran itu melukai, bagaimana?"
"Melukai?"
"Ya. Karena cupu manik adalah hadiah dari kekasihnya: Batara Surya, dewa matahari. Indradi tahu, jika diucapkan dengan jujur rahasia cupu manik itu, maka suaminya akan luka yang tak tersembuhkan. Sebaliknya, jika diam, mungkin suaminya akan marah, tetapi waktu akan meredamnya. Indradi tidak mau suaminya luka. Mana yang lebih baik: tidak tahu atau luka karena tahu?"
Anak laki-laki itu terdiam dan cukup lama tenggelam dalam kebisuan.
Ketika terbangun, anak laki-laki itu mendapati hari sudah senja. Angin ladang membawa aroma tanah basah, guyuran hujan di lembah sana. Batu masih menempel di telinganya. Segerombolan anak pulang main, berteriak-teriak dari kejauhan mengejeknya, tapi dia diam saja.
"Namamu siapaa?" tanya salah seorang di antara mereka.
"Ha-hi-hu-he-hooo," jawab yang lain serempak sambil tertawa-tawa.
"Bapakmu siapaaaa?"
"Ha-hi-hu-he-hoooo."
"Ibumu siapaaa?"
"Ha-hi-hu-he-hooo."
"Makananmu apaaaa?"
"Ha-hi-hu-he-hooo."
Akan tetapi, syukurlah, alam sekali lagi, membentengi gendang telinganya dari menerima ejekan itu semua. Begitulah alam mengasihinya. "Mana yang lebih baik: tidak tahu atau luka karena tahu?" kembali terngiang suara batu di telinganya, berulang- ulang. Dia menangis ketika mencoba memahami pertanyaan batu yang sederhana itu.
Ketika anak-anak itu melihat korbannya menangis, mereka berlarian mendekat sambil mengejek. "Hah, ditanya baik-baik malah nangis."
Anak laki-laki yang menangis itu terkejut, air matanya masih berlinang, dia berdiri dengan tangan menggenggam batu yang dilekatkan di telinga kanannya. Dengan nada amarah, dia bertanya mengapa anak-anak itu seperti mau menyerangnya.
"Hahahahaha... ha-hi-hu-he- hoooo.... awas dia marah."
"Mau apa? Mau apa, hah... dasar goblok! Berani sama aku? Mau nglawan aku?"
"Kenapa kalian marah?" ucap anak laki-laki dengan batu di telinganya.
"Hahahaha... bener-bener goblok, pertanyaannya apa, jawabannya: mau makan... ha-hi-hu- he-hoooo." Berkata begitu mereka satu per satu meninggalkan anak laki-laki dengan batu di tangannya. Lalu sunyi. Lalu jangkrik dan serangga malam pun menyanyi.
"Atas cercaan suaminya, Indradi memang takut, tetapi sesungguhnya Indradi takut suaminya akan terlukai oleh kebenaran yang disembunyikannya."
"Jadi, lebih baik dia diam?"
"Untuk yang ini: ya."
"Lalu suaminya mengeluarkan kutukan: Indradi menjadi batu?"
"Kutukan? Apa yang kau tahu tentang kutukan? Sifat batu, begitu juga sifat debu, sifat air, sifat api dan sifat udara... sudah ada pada setiap orang. Gotama hanya menyebutkannya saja: kutanya hanya diam; seperti batu. Maka batulah Indradi."
"Selamanyakah dia menjadi batu?"
"Tidak."
"Kok, tidak?"
"Begitu Gotama mati. Indradi menjadi bidadari, kembali ke surga."
"Begitu? Sederhana sekali?"
"Memang."
"Aneh."
"Apanya?"
"Kau batu. Katanya sifat batu itu pendiam... nyatanya kau bercerita kepadaku."
"Siapa yang bercerita?"
"Lho, bagaimana, sih? Selama ini, sejak semula, kau ngoceh terus di kupingku?"
"Kata siapa?"
"Aku tidak akan pernah tahu cerita Indradi, jika bukan dari kamu. Aku gak bisa baca."
"Masalahnya, kau percaya aku bisa bercerita, maka aku pun bercerita."
"Jadi, benar, kan... kau memang batu yang tidak bisa diam, makanya kau ini aneh."
"Siapa yang bilang?"
"Aku yang bilang kamu aneh!"
"Yang bener, ah.... Coba kau tanyakan kepada orang-orang sekelilingmu tentang batu yang bisa bercerita, lalu kau tanyakan pendapat mereka tentang itu semua. Bisa kau bayangkan, siapa yang aneh."
"Aaaarrrhhhhhhh...!" lalu dia lemparkan batu itu, membentur batu dan pecah. Lalu nyanyian jangkrik dan serangga malam mengisi sunyi. Anak itu menangis mendinginkan hatinya.
Berselimut gelap malam anak laki-laki itu mencoba tidur. Matanya terpejam, tapi pikirannya mengembara di kesunyian. Batu itu membawaku ke dunia antah-berantah, aku menyukainya, tapi jika kuceritakan ini kepada teman-temanku, mereka pasti menganggapku gila. Haruskah aku mengatakan apa yang kuketahui ini atau merahasiakannya saja? Itulah yang berkecamuk di pikirannya. Mana yang lebih baik: tidak tahu atau luka karena tahu? Dan bisikan itu pun terngiang kembali.
Berbulan-bulan kemudian, orang-orang kampung selalu melihat ada seorang anak laki-laki, tubuhnya kurus, pakaiannya kumal, selalu berjalan menunduk, dengan langkah sangat hati-hati. Dan yang cukup menarik perhatian adalah, di tangan kanannya tergenggam batu yang dilekatkan ke telinga kanannya, layaknya seseorang yang sedang menelepon.
"Siapa, sih, dia?"
"Panggil saja si haho," celetuk seseorang.
"Hus... kalau dia dengar, pasti marah."
"Enggaklah... dia tuli."
"Ah, kalian... jika saja kalian tahu bahwa aku tengah mencoba memahami ilmu si serunting sakti," ucap anak laki-laki itu sambil tetap berjalan merunduk.
==============
Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Pernah duduk sebagai anggota redaksi majalah Berita Buku Ikapi, lalu menjadi copywriter di Indo-ad, kemudian memilih menjadi penulis lepas. Kumpulan cerpennya antara lain Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di Daun Tal (1992), Menggenggam Petir (1996), Segulung Cerita Tua (2002), Kuda Kayu Bersayap (2004) , Tamu dari Paris (2005), dan Setubuh Seribu Mawar (2013). Cerpennya, "Orang-orang yang Tertawa", diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dalam kumpulan cerpen berjudul Diverse Lives-editor: Jeanette Lingard (1995). Novel karyanya, Di Batas Angin (2003), Manyura (2004), dan Boma (2005).
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 November 2016, di halaman 25 dengan judul "Ha-hi-hu-he-hooo".