Sembilan puluh satu dia sekarang. Yang dia rencanakan untuk hidupnya, semua sudah tercapai. Yang tak pernah dia bayangkan pun malah sudah dia nikmati. Sebuah kuburan sudah dia persiapkan di atas bukit. Dan dia membayangkan, patungnya, patung setengah badan, akan diletakkan hati-hati di atas penampang marmer Italia yang dikirimkan anaknya dari Turino. Patung itu akan ditempatkan hanya selangkah dari gerbang kuburannya.
Dirinya, yang diabadikan dalam batu berwarna perak itu, akan kelihatan seperti hidup, melayangkan tatapan abadi mensyukuri lembah, memuliakan teluk, dan seakan-akan tak pernah berhenti memuja pulau yang membentang di mulut teluk, nun di sana. Pulau yang tercipta untuk menjinakkan gempuran obak Samudra Hindia. Setinggi apa pun. Hatta sedahsyat tsunami. Karena itulah, kota kecil yang menyusu di teluk itu akan abadi. Dia hanya akan lebur kalau seluruh daratan sudah binasa.
Sehari dalam seminggu, dia menapaki kaki bukit, berdiri dengan kaki terpacak kuat-kuat di atas lahan di mana tubuhnya suatu ketika akan diabadikan. Dia bayangkan dirinya yang sudah jadi batu, dengan mata yang tiada kenal lelah, menatap jauh untuk memastikan kaki langit masih menjadi penyekat samudra, pulau masih berjaga-jaga, gelombang yang membantai pantai masih berdebur, dan kota di bawah sana tetaplah sebuah pusat kehidupan yang merangsang dan heroik, walau kecil.
”Amang oi, Amang,” Emak, aduhai Emak oi.., desis suaranya bertarung dengan angin yang menggerbang-gerbangkan janggutnya. ”Sudah kutatap New York dari Twin Towers. Telah kulihat deretan gunung disaput es yang tak pernah cair dari penginapan tertinggi di Paro, Bhutan. Tapi, yang di bawah hidungku ini… Ah… tiada taranya. Alangkah elok pemandangan dari sini,” Ompung yang berdiri dengan kokoh di atas lututnya, di pucuk bukit kematiannya itu, berkusip meyakinkan bukan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
Perlahan dia menarik napas, tetapi dalam. Bersama tarikan napas itu dia menelan keinginannya yang terakhir. Hatinya begitu menggumpal. Seakan-akan minggu depan dia sudah akan mati. Karena itu, dengan jalan apa pun dia ingin patungnya sudah diletakkan persis di mana dia berdiri sekarang, dengan mata nanap menikmati panorama alam leluhurnya. Di dalam khayalnya, dia bayangkan, kalau dia sudah menemukan ajal, rohnya akan bersemayam di tubuh si patung. Dengan begitu, mata dan hatinya takkan lekang-lekang dari hamparan daratan di bawah, kota kecil di mana dia lahir, teluk dan ombak tempatnya bercengkerama di masa kecil, juga pulau yang jadi juru selamat.
Bukan karena matahari sudah sepenggalah, makanya sekarang, dengan gontai dia menyeret langkah menuruni bukit itu. Ada yang mengganjal di hatinya. ”Rosa…,” dia menumpahkan setumpuk kekecewaan pada yang punya nama. ”Kusembah kau, kerjakanlah patungku itu. Tolonglah. Ini permintaanku yang terakhir. Tunjukkanlah bahwa kau memang mencintai aku, Amangmu ini. Aku mau melihat patung buatanmu itu sebelum aku mati. Anakku manis, mengapa tak kau kerjakan juga...?” Bujukan itu dia ulangi, dan ulangi lagi, pada setiap langkah kakinya mengikuti anak tangga menuruni pinggang bukit.
Kerasnya batu yang dia pijak, lebih keras lagi hati anaknya itu. Pada pertemuan terakhir, di meja makan, Rosa tetap menolak mengerjakan patung sang ayah. ”Papi tidak adil padaku. Jauh-jauh aku disekolahkan. Apa yang kudapat dari sekolah, dari pengalamanku, juga penghayatanku, hanya disia-siakan.”
Orang baik-baik barangkali menganggap kata-kata itu sebagai pemberontakan anak terhadap ayah. Jangan begitu. Lihatlah tadi, bukankah Rosa berdiri dan mengecup pipi ayahnya sebelum menyatakan penolakan. Bibir sang ayah sedikit menyungging dibuat kecupan itu. Rupanya, dia menikmati cinta anak perempuannya itu yang singgah dengan hangat di pipinya. Sehangat air teluk.
”Tidak memaksa, Rosa. Jangan begitu kau. Jangan salah sangka,” pojok bibirnya merekah. ”Aku hanya ingin yang kau kerjakan tak ada yang salah. Begitu melihat patung itu, ’kan kau juga yang akan dipuji orang nanti.”
”Aku tak bisa mengerti, dan tak bisa menerima cara Papi memahami penghargaan orang pada Papi. Bagaimana aku membuat patung itu, bagaimana hasilnya, begitulah aku menghargai Papi. Itu bukan karya Papi. Tapi, begitulah ungkapanku memuji hidup Papi,” Rosa merapat ke pangkuan ayahnya. ”Pujian tak pernah salah, Pi,” mmmh… sekuntum kecupan didaratkan Rosa lagi di pipi ayahnya.
”Maksudku jangan sampai ada raut muka yang keliru. Jangan sampai ada jurai helai janggutku yang dikacaukan angin. ’Kan kau tahu apa arti sebuah garis pada sebuah patung. Sekecil apa pun dia bisa memberikan gambaran buruk pada sifat seseorang.”
Rosa bangkit mengambil asbak seraya menenteng sebatang rokok di antara jarinya. Jari yang sama sekali tidak romantis, kehalusannya habis dikikis semen, baja antikarat, perunggu, atau serat gelas. Saat anaknya membelakanginya itulah Ompung, seperti seekor induk ayam melihat cacing, dengan ligat mengais tissue di mana terlukis potret sang ayah dalam guratan spidol.
Duduk kembali di kursinya, Rosa sedikit pun tidak menunjukkan gelagat kehilangan kertas di mana dia tadi menarik-narik garis dengan cepat untuk membentuk wajah ayahnya. Dia tahu kertas itu pasti sudah disembunyikan ayahnya. Dijepitnya di antara dua pahanya untuk kemudian nanti dia simpan serapi-rapinya di sebuah brankas di dalam kamar tidurnya. Itu adalah tissue kedua puluh tujuh berisi sketsa sang ayah. Cerita maminya, tengah malam, tissue-tissue itu diterawang si ayah helai demi helai sampai dia tertidur lelap dibuatnya.
Ompung seperti mau mencebur ke dalam hati anaknya itu, dia tatap matanya, dan ungkapnya: ”Puluhan sketsa yang sudah kau buat mengenai diriku, tak satu pun yang meleset. Ketekunan, bukan keberanian, itulah aku. Aku melihat itu dalam semua sketsamu. Janggutku hanya diwakili dua garis tipis, tapi justru garis itulah yang memperkuat kepribadianku. Dan, sekalipun tidak ada tarikan garis yang tegas, tahi lalat di daguku terasa selalu hadir,” dia berhenti, mendehem. ”Tapi, itu cuma sketsa. Patung ’kan lain lagi soalnya. Apalah salahnya, kalau kau mulai mengerjakannya sekarang. Aku yang punya badan. Aku yang tahu. Berilah aku kesempatan bersaksi atas diriku sendiri.”
Rosa diam seribu bahasa, membiarkan rokok terus menganggur, tetapi berasap di antara dua jarinya. Dia sudah tak mau mengulang, dan mengulang lagi alasannya menolak keinginan sang ayah untuk memberikan otoritas kebenaran pada karyanya. Buat dia penghargaan adalah haknya, dengan cara bagaimanapun. Tidak diperlukan pembenaran atau koreksi.
Berulang kali ayahnya meminta supaya patung yang dia kerjakan, sebelum dinyatakan selesai, ditilik dulu olehnya. Tapi, Rosa menampik. Kalau hati anak perempuan itu adalah hati seorang pelaut yang mudah terbakar, maka Rosa akan menutup perdebatan dengan ayahnya itu dengan hentakan, ”Sip babam!” Tutup mulutmu! Tapi, itu tak mungkin dia lakukan. Itu sama saja dengan memenggal air. Mana mungkin memutuskan hubungan lantaran perbedaan pandangan. Apalagi ayah sendiri.
Sebutkanlah apa yang tidak dilakukan orangtua itu dalam membesarkan anak perempuannya itu. Sama seperti kesembilan saudaranya, Rosa juga disekolahkan ke Eropa. Sebagai anak paling bungsu, dia diberikan kesempatan menyaksikan mural realis Siqueiros, termasuk lukisan termasyhur ”Kematian dan pemakaman Cain,” yang menggambarkan prosesi kematian petarung yang mendebarkan itu. Juga belajar seni rupa beberapa tahun di Meksiko.
Setelah perjalanan terakhir ke puncak bukit hari ini. Setelah membujuk Rosa selama tiga tahun dan gagal. Setelah sketsa di atas tissue yang kedua puluh tujuh itu, si pematung tetap tak terbengkokkan, tibalah saatnya Ompung menempuh jalannya sendiri. Dia temui istrinya.
”Sudah ribuan kali kubujuk si Rosa, dia tetap tak sudi memulai pengerjaan patungku. Aku dapat akal. Tapi, jangan kau bocorkan, da! Kau bantulah aku. Ini permintaanku yang penghabisan.” Istrinya bingung. Apa yang bisa dia lakukan? Enam puluh enam tahun menyertai Ompung, dia tak pernah mengecewakan suaminya itu.
”Berbohong untuk kebaikan. Untukku. Patungku….”
”Bah, berbohong…. Kapan kau pernah mengajari aku berbohong?”
”Ini permintaanku yang terakhir. Kusembah kau, tolonglah.”
Keesokan harinya, manakala matahari belum marak di kaki langit, Ompung, menggunakan perahu layarnya sendiri bertolak ke pulau. Ditemani pembantu yang bekerja dengannya sejak puluhan tahun yang silam. Pembantu itu diperintahkannya pulang dan hanya boleh kembali kalau diminta.
Kota kecil di mulut teluk itu menggigil. Pada hari kedua menghilangnya Ompung, keluarga yang ditinggalkan benar-benar gempar kehilangan induk. Seluruh pojok kota diselidiki, bukit- bukit dipanjati mencari orangtua yang hilang. Kesetiaan istri Ompung tiada duanya walaupun dia harus menanggungkan penderitaan yang tak pernah dia junjung, yaitu berdusta. Kepada siapa pun yang datang bertanya, sepandai paropera tilhang, dia tetap mengatakan tak tahu.
”Bah, manalah kutahu itu. Dia suamiku. Lebih enam puluh tahun. Akulah yang paling sedih dari semua yang ada di sini,” katanya meyakinkan anak-anaknya yang datang dari berbagai kota besar dari semua penjuru angin.
Pada hari kesembilan menghilangnya Ompung, rapat keluarga memutuskan supaya semua naik ke pemakaman di atas bukit, membuka pintu gerbangnya. Siapa tahu Ompung sudah membujur kaku di dalam. Seluruh anggota keluarga dan penduduk kota menyemut menaiki bukit. Pintu gerbang yang terbuat dari batu dikuakkan. Pembaringan jenazah yang ditatah dari pualam tetap kosong. Nama lengkap Ompung diserukan bertalu-talu. Yang menjawab cuma sipongang.
Hari kesebelas, datanglah Rosa membawa mukjizat. ”Apa pun yang terjadi pada Papi, aku harus memenuhi permintaannya. Permintaan penghabisan. Sekaranglah saatnya. Sekarang! Aku minta maaf untuk sikapku terhadapnya selama ini. Patung yang sejak bertahun-tahun dia minta supaya kukerjakan sebenarnya sudah kutatah. Sudah jadi. Aku timbun di bukit pasir, kusembunyikan di pulau. Besok aku ke sana, dan akan membawanya kemari. Langsung saja kita tempatkan di pemakaman Papi,” katanya membuat mulut semua yang hadir nan sedarah terdiam tetapi menganga. Istri Ompung tak terkecuali. Tetapi, dengan sigap, diam-diam dia perintahkan pembantu setianya menjemput Ompung ke pulau, saat itu juga.
Tengah malam, dengan kelihaian seorang bekas pejuang, Ompung menyelinap ke dalam kamar tidurnya. Di situ, dia ciumi istrinya habis-habisan. Tak pernah dia berterima kasih serupa itu, sampai-sampai istrinya gelagapan. Dia malah ingin mencium lututnya, menyembahnya pula.
Sebelum matahari merangkak sepenggalah, dari arah pulau sebuah perahu layar menghunjamkan haluannya ke arah pantai. Tiga perahu lebih besar menguak ombak mengiringi dari belakang. Rosa, dengan mata yang tak lepas dari lunas, duduk di haluan. Di lunas itu, di atas hamparan kain putih, terduduklah patung Ompung. Sementara di pantai berjibun sanak saudara dan penduduk kota yang menanti. Kota kecil itu menggigil. Namun, tak ada tangis. Yang ada adalah hasrat ingin tahu bagaimana nian rupa Ompung dalam batu yang ditatah anaknya sendiri, si Rosa, sang pembangkang.
Begitu menginjakkan kaki di pantai, patung langsung di letakkan di atas keranda panjang, terbuka menengadah ke langit. Ada sepuluh orang yang maju mengusung patung yang terduduk di atas keranda itu. Prosesi mengingsut. Menyemut manusia mengikuti patung itu menuju bukit. Kota kecil di mulut teluk itu menggigil. Tak terdengar tangis, yang mengapung cuma gumam ingin tahu di mana gerangan Ompung yang sudah dijadikan batu itu. Berpakaian serba hitam, Rosa, si pematung, berjalan paling depan, dada paling membusung, melangkah seperti ujung tombak menguakkan jalan untuk gelombang manusia di belakangnya.
Juga tak ada air mata yang titik ketika patung Ompung didudukkan di penampangnya, selangkah dari pintu kuburannya. Dan, persis seperti kehendak yang punya badan, mata patung itu nanap memandang ke lereng, ke kota di bawah, dan ke ombak di teluk yang tiada henti menghempaskan diri.
Terdengar gumam yang berpindah dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Pucuk bukit menggigil tak bisa menjawab di manakah Ompung gerangan. Tak dinyana, tak disangka, di pinggang bukit tiba-tiba tampak sosok laki-laki berpakaian serba putih, menapak perlahan.
”Oi… siapa itu?” mengaum suara di pucuk bukit.
Sosok berpakaian putih itu tidak peduli.
Istri Ompung mendekati bahu Rosa, menempelkan bibirnya di kuping anak bungsunya. ”Papimu!”
Disaksikan ribuan pasang mata, Rosa, menuruni tangga, menjemput ayahnya. Diulurkannya jarinya. Yang dia terima adalah penolakan. ”Tak usah, aku kuat. Aku mau lihat seperti apa aku kau buat.”
Ompung mengelilingi patung dirinya. Tiga kali menurut arah jarum jam. Tiga kali dari arah berlawanan. Lama dia menyimak lambaian janggutnya. Tersentak dia melihat bayangan tahi lalatnya di balik janggut yang tipis. Tanda lahir itu ada tapi seperti tiada, serupa perempuan pujaan yang menyembunyikan arnal emas di dalam sanggulnya.
Lebih merapat, Ompung nyaris menyenggol bahu si patung. Dia melayangkan pandang ke arah mana patungnya mengarahkan mata. ”Amang oi… Amang, indahnya laut kau lihat dari sini,” pujanya di kuping patung.
”Papi, yang mana yang salah?” Rosa menghampiri, menekan.
Tak ada jawaban untuk si pematung, kecuali tubuh ayahnya yang mendekat. Di pelupuk mata orangtua itu tersekat air. Ompung memeluk anaknya, mencium ubun-ubunnya berkali-kali, hingga air matanya tetes di situ. Ribuan mata, angin, dan ranting menyaksikan syahdunya pelukan itu. Membangkitkan cemburu.
”Bah, mengapa aku tidak?” protes istri Ompung. ”Padahal aku sudah berbohong.” Ribuan mata, angin, ranting, dan lembah menunggu Ompung merentangkan kedua tangan dan mendekapkannya erat-erat pada tubuh istrinya. ***
Cerpen Martin Aleida Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 10/05/2008