Kau adalah kematianku
Padamu aku dapat bergantung
Ketika semuanya jatuh berguguran
(Paul Celan)
DI lautan suara dan gerakan aku mengapung. Tidak seperti binatang Kapal Perang Portugis yang sengatnya masih berfungsi walaupun ia sudah mati melainkan lebih mirip ganggang ruwet di tengah laut yang sudah dipenuhi kehidupan palsu.
Aku melewati seseorang yang mungkin akan kutemui dalam mimpi nanti malam. Mungkin juga tidak. Mungkin juga akan jadi bagian dari mimpi burukku. Aku melewati segala sesuatu yang mungkin akan kutemui kembali esok hari —mungkin juga tidak. Barangkali hari-hari yang datang akan sama dengan hari ini karena seperti keluaran pabrik kloning, hari-hari terlihat sama untukku. Aku seperti makhluk pejalan lurus yang terperangkap dalam roda di kandang hamster, seperti kuda kayu dalam komedi putar. Bergerak tanpa pergi ke mana pun juga.
Mataku sudah buram, kawan. Pernah aku berjalan di sini dengan mata yang berbeda dari mata yang merengkuh dunia. Kini seperti ada selaput katarak yang menutup pandangan, aku tak dapat lagi mengindera dengan baik. Sepertinya selalu ada pembatas yang tak nampak antara aku dengan hidup, cinta, kasih, imajinasi, harapan, napas. Sepertinya aku ingin memegang semua itu tapi ternyata aku dan semua itu memiliki kutub yang sama sehingga bagaimanapun kuatnya usahaku untuk memegang, pada jarak tertentu selalu ada tolakan yang tak mungkin kulawan. Selalu berjarak, kawan. Selalu berjarak.
Tapi kau tahu kawan, sampai kini aku tak mengimani kata-kata Paul Celan itu, aku hanya ingin menuliskan itu untuk kaubaca saja. Aku tak tahu apakah kau mengimaninya atau tidak, dan aku tak perlu mengetahuinya, bukan?
Kawan, kita bertemu kembali. Hilangkan kata kembali bila kau tak membaca ceritaku sebelumnya dan jangan risau ini bukan risalah bersambung yang tanpa membacanya dengan runut maka tak mungkin dapat kau mengerti. Ini bukan buku besar seperti proyek pemetaan gen yang tanpanya kau akan tetap jadi manusia sementara dengannya kau bisa jadi tuhan.
Lupakanlah ceracauku setelah kata ”kembali”.
Kini mari kembali ke ceritaku bahwa aku tak mengimani kata-kata Paul Celan karena aku baru jatuh cinta kawan. Pada seseorang yang entah mengapa aku selalu ingin berak jika mengingatnya. Ini barangkali yang disebut selalu bernafsu untuk jatuh cinta dan menderita karenanya dengan satu atau cara lainnya. Kau tertawa kawan? Aku tidak. Sialan, kawan, ini hujan mulai turun dengan tiba-tiba dan langsung menderas sementara payung tak kubawa tapi aku tak mau berlari maka aku berjalan menuju sebuah warung tenda. Kuyup sedikit biarlah.
Ini warung kaki lima. Aku tak mau lebih banyak bercerita tentang warung kaki lima. Terakhir kuceritakan padamu kau menukas: Tipikal. Lanjutkan saja ceritamu.
Nah, karenanya aku akan melanjutkan kisahku tentang Basilisk.
Apa?
Basilisk.
Asal kau berjanji kau tidak akan bercerita seperti Scheherazade. Aku letih.
Aku juga.
Warna tehku semakin gelap sepertinya malam melarut di dalamnya. Panas teh ini yang berdifusi pada dinginnya udara malam hanyalah cerita tentang energi yang berpindah dari satu benda ke benda yang lain.
Sebuah hari kerja telah berakhir. Terang sudah meredup. Terang berubah menjadi malam yang hitam dan dingin seperti hijau daun teh yang menghilang tergantikan keriting daun kering yang menghitam dan batang yang kurus. Ini malam dari suatu hari, suatu hari dari hari-hari yang serbasama.
Lampu jalanan sudah mulai dinyalakan. Kuning temaram seperti sinar mata orang yang sedang mengantuk. Ini sanggama cepat dari titik-titik hujan dengan aspal. Tutul-tutul air hujan yang memberi motif polka dot di aspal dengan segera menjadi selapis air kecokelatan di badan jalan. Udara basah. Lampu kuning terlapisi tirai hujan memberi pendaran yang cabul.
Atmosfer melelahkan. Aku merasa jadi makhluk yang sudah berlari habis-habisan di padang gurun dikejar bayanganku sendiri. Aku duduk dengan teh di meja di depanku. Terlalu letih untuk bercerita tentang si penjaga warung.
Sedikit bermimpi tentang bagaimana matahari yang sama terbit dan tenggelam di tanah jauh. Aku bersedih dan sedih itu melelahkan. Memakan tenagaku jadi sebenarnya aku terlalu malas untuk bersedih. Kuharap dalam cangkir teh ini ada sesuatu —seperti nektar misalnya— yang bisa membawaku berkelana ke Taman Elysia. Tapi tidak ada. Tak ada pengelanaan apa pun yang terjadi setelah cairan itu kuminum sedikit demi sedikit. Di seberang jalan ada taman. Dengan pohon, rumput, semak, bangku dan tempat sampah. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan padamu.
Lihatlah di tempat sampah tak jauh dari warung ini, sebuah makhluk Basilisk bergelung. Hampir sebesar wajan, mungkin ia baru saja menetas. Seekor bayi Basilisk, kepalanya bergantung lemas pada leher yang terkulai. Tubuhnya menekuk dengan ekor menggulung dan sepasang kaki bertekuk pula secara rapih untuk mengurangi panas keluar dari tubuhnya (adakah kau ingat nasib panas dari cangkir tehku, kawan?). Tubuhnya masih dilapisi selaput tipis yang sudah koyak di sana-sini. Tak seperti telur burung, telur Basilisk ini tidak memiliki cangkang yang keras, hanya selaput berlendir yang menutupinya.
Dan di manakah sang kodok?
Telur Basilisk harus ditetaskan oleh kodok —mungkin ia sudah kembali ke gorong-gorong di bawah sana tempat sisa-sisa peradaban mengendap.
Kini kau bisa melihat kepalanya yang mirip kepala ayam jantan, dan sayap yang lisut dan ekor yang seperti ekor ular. Makhluk Frankenstein saja tampak seperti laki-laki dalam baju rapih dibandingkan makhluk ini.
Tapi kemudian kutahu itu hanya permainan sinar dan bayangan dan sedikit angan pada tumpukan sampah. Selaput cangkang telur Basilisk adalah plastik. Campuran styrofoam, tangkai tanaman kering, kerisut kertas kardus, plastik, dan plastik lagi adalah bayi Basilisik. Tapi lihat, di tempat sampah ini aku jadi punya makhluk yang hanya hidup di pikiranku. Kau tahu, monster sudah dikalahkan dan mereka mengungsi ke dalam angan. Sangtuari terakhir. Mereka dikalahkan bukan oleh pahlawan berhidung mancung dengan cermin dan pedang pinjaman dari dewa dewi. Mereka menghilang karena tak lagi penting. Mereka bisu dan bukan jadi bagian dari sebuah siklus lagi.
Sekarang aku berjalan melewati tempat sampah itu. Aku semakin yakin itu bukan Basilisk ataupun kadal ataupun buaya nyasar di kota. Itu hanya tumpukan sampah. Jadi hanya begitu saja malam Basilisk, sependek kalimat ini. Sependek kata ini: cinta. Cinta ini seperti rasa dingin dari alkohol yang ditotolkan sebelum jarum suntik dibenamkan menembus kulit. Cepat menguap. Dan karena cinta juga monster, ia hilang berdifusi pada malam dan sekarat diam-diam. Arwahnya tak pergi ke Taman Elysia, melainkan tinggal di angan.
Aku pernah jatuh cinta pada seorang yang percaya bahwa ia tak mungkin tahu tentang keberadaan tuhan sementara aku adalah —menurutku sendiri- seorang munafik. Aku jatuh cinta lagi pada seorang lain yang bagiku seperti sepasang sepatu stiletto; hak tinggi runcing lancip seperti belati, yang indah semampai dan sakit jika dikenakan Sebentuk porselen di dalam ruangan yang mengambil semua perhatian dan menundukkan ruangan tersebut. Begitulah dirinya untukku. Aku adalah kaki dengan ibu jari dan kelingking yang tertekuk atau ruangan yang ditaklukan. Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya; aku selalu bernafsu untuk jatuh cinta dan menderita dengan satu atau lain cara karenanya.
Malam larut dan aku larut dalam malam. Adakah aku, si Basilisk, malam, dan teh ini punya sifat yang mirip? Mirip hantu. Muncul di malam hari. Mirip mimpi, hilang ketika kesadaran datang. Seperti burung Finiks. Hidup untuk mati untuk hidup kembali. Untuk mati kembali. Berulang. Atau seperti yang pernah kau katakan dengan fasih: seperti membereskan teka-teki: mana yang lebih dulu, telur atau ayam. Seperti hamster yang terjebak dalam rodanya. Seperti kuda kayu di komedi putar. Gondola di roda Ferris. Malam ini, Basilisk, dan teh; semua hanyalah tulisan di selembar kertas, tapi padamu, kawan, pada dirimu aku bergantung ketika yang lain jatuh berguguran.***
Cerpen Dinar Rahayu Silakan Simak!
Dimuat di Suara Merdeka Silakan Kunjungi Situsnya! 07/13/2008