Pernahkah kau dengar kisah seorang Dayang Satyawati dari Negeri Atas Angin yang jatuh cinta pada Pangeran Muda gagah perkasa? Saat melayani Sang Pangeran bersama-sama dengan dayang lain, selalu dicurinya pandang, kegagah-perkasaan sang pangeran yang selalu tersenyum, tak pernah menunjukkan muram durja.
Tak seorang pun di antara dayang-dayang itu yang menebar rasa benci pada pangeran. Tetapi, alangkah mahal kata-kata pangeran, alangkah mahal sentuhan pangeran. Andaikata sempat sedetik saja pangeran menyapa, sedetik saja menyentuh hanya ujung jarinya, alangkah berbuih-buih warna-warni balon sabun dalam hati.
Hari-hari lewat dengan penuh harap cinta, sementara tersebar berita bahwa sang pangeran akan segera menikah dengan puteri raja dari Negeri Bawah Angin. Tapi, harapan para dayang tak pernah pupus. Masih banyak kesempatan untuk menjadi selir, istri simpanan.
Sudah menjadi adat dan bahkan kebanggaan bagi para selir, bagi semua perempuan di istana, untuk berharap menjadi selir. Selir pertama, kedua, ketiga, kesepuluh, tak mereka persoalkan, asal bisa bersama pangeran walau hanya beberapa menit, menyerahkan raga dan juga cinta kepada lelaki perkasa itu.
Tapi, hari yang dinantikan seluruh warga kerajaan tiba. Ada kerja besar. Istana dihias dengan janur kuning, umbul-umbul warna warni, penjor berhias. Berbagai jenis makanan disiapkan untuk menjamu tamu. Pada hari baik, 'dewasa' untuk menikah, upacara besar dilaksanakan.
Setelah tuan puteri dipinang dan diambil dari istananya, maka pernikahan dilakukan di istana sang pangeran. Di bale gede yang sudah dihias aneka ragam warna mempelai besimpuh didepan pendeta yang membunyikan genta kuningan yang dentingnya sejuk di telinga, menembus sampai ke hati. Banten lengkap untuk pernikahan siap tergelar di atas permadani.
Pendeta itu mengenakan penutup kepala dari benang-benang emas, bertelanjang dada namun ada selempang dari kulit yang juga dihias dengan penaik-pernik emas. Istrinya mengenakan kain dan kebaya, selendang kuning mengikat pinggangnya. Sibuk membantu pendeta menyediakan alat-alat upacara yang diperlukan.
Setelah mendapat percikan tirta suci pada kepala dan telapak tangan yang ditadahkan, mempelai berdua bangkit dari simpuhnya, istri pendeta melingkarkan tali kain pada kedua badan mareka.
Dalam keadaan terikat itu mereka dibimbing untuk berdoa dan berjalan mengelilingi hamparan sesaji di atas permadani merah. Sesudah itu, mereka digiring untuk besembahyang di tempat sembahyang istana, di depan tempat para leluhur bersemayam. Seluruh keluarga istana mengiringi. Ibu suri berada paling depan.
Selesai upacara pernikahan, diadakan pesta pernikahan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu-tamu dari segenap wilayah kerajaan membanjir, masing-masing membawa hadiah untuk menyenangkan hati kedua mempelai. Lalu, para warga Negeri Di Bawah Angin juga ikut bersuka ria. Belum lagi sejumlah utusan dari kerajaan yang jauh. Bahkan ada utusan dari Negeri Campa dengan hadiah sebuah perahu-perahuan yang dihias dengan benang-benang emas, penuh dengan muatan emas permata dan kain-kain sutera warna warni.
Musik dari gemelan dimainkan selama dua puluh empat jam, berganti-gantian sajian dari berbagai sekehe gong terbaik dari pelosok negeri. Tuak segar yang diturunkan langsung dari pohon aren terhidang di meja. Demikian pula air dari tape ketan hitam membuat kepala sejumlah tamu muda terasa berat, tetapi mereka nampak tertawa lepas puas, badan mereka terasa hangat dalam udara malam yang dingin.
Lampu minyak di setiap sudut istana tak pernah padam, tetap menyala walau para tamu sudah tidur nyenyak. Para prajurit berjaga-jaga di semua sudut istana, siapa tahu ada penjahat yang menyusup dan mengacaukan suasana.
Kisah tak terduga bisa saja terjadi, apapun bisa terjadi pada saat semua orang mabuk kebahagiaan dan kesenangan. Malam makin larut walau suasana tak benar-benar sepi sebab sejumlah orang masih tergelak-gelak di bale yang paling luar, dekat pintu keluar kerajaan.
Gusti Agung sang panglima, tangan kanan pangeran, selalu dengan dengan pangeran, sebab tugasnya memang mengawal raja muda yang mewarisi kerajaan luas, yang alamnya subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Siapapun penguasa wilayah ini pasti menjadi junjungan rakyat banyak dan dapat hidup mukti, makmur, sejahtera. Terlalu banyak kata yang harus dipakai untuk menggambarkan keutamaan harta dan kedudukan yang dipangku penguasanya.
Malam itu dia duduk bersila di luar kamar utama sang pangeran yang sedang menikmati malam-malam pertamanya dengan istri cantik jelita. Siang tadi Sang Putri berkenan meninjau bekeliling istana dalam sebuah tandu yang diangkat oleh enam orang prajurit tegap perkasa, ditemani sang Pangeran yang bangga bersanding dengan puteri jelita.
Gusti Agung sang panglima mengawal walau setapak mereka pergi. Saat sampai kembali di depan kamar pengantin, Pangeran lebih dahulu turun, kemudian mengulurkan tangannya menolong Sang Putri. Saat itulah Gusti Agung terperanjat kala melihat kain yang dikenakannya tersingkap dan betis Sang Puteri berkilau.
"Duh, Gusti. Dialah pembawa keberuntungan dan juga pembawa mala petaka sebagaimana yang kau perlihatkan pada hamba dalam mimpi hamba. Hamba memilih keberuntungan dan menolak petaka yang timbul dari mengawininya. Duh, Gusti, ijinkanlah hamba memperisterinya."
Malam ini, niatnya sudah bulat. Dia harus membunuh Pangeran dan mencari perajurit yang dapat dikorbankan. Sengaja dipanggilnya I Belog berjaga bersamanya di depan kamar mempelai, mengajaknya bercakap membunuh dinginnya malam. Hati I Belog mekar kembang kempis karena bangga bisa diajak berbicara oleh Gusti Agung panglima perang. Tak banyak prajurit rendahan seperti dia yang punya kesempatan emas seperti itu. Dia berkali-kali hanya menjawab, "Inggih, inggih, Ratu."
Di kamarnya Dayang Satyawati tak bisa tidur lelap, membayangkan Pangeran mencumbunya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan beringsut ke kamar mempelai ingin mengintip kebahagiaan pangerannya pada malam-malam pertamanya dengan membayangkan dirinya sendirilah yang berada dalam pelukan pangeran.
Kamar mempelai hanya ditutup kelambu berlapis-lapis, dan dengan pandangan tajam dia dapat menembus tirai itu, menyaksikan sang puteri dan pangeran ternyata sedang tidur pulas. Memang Tuan Puteri meletakkan kepalanya di dada pangeran. Dayang Satyawati mengingsut lebih dekat, dan dalam keremangan kamar itu dia terperanjat melihat bayangan lelaki mendekat dengan keris terhunus.
"Duh, Gusti, akan terjadi pembunuhan keji."
Tanpa berpikir dia menerobos masuk ke dalam kamar, dan saat keris ditikamkan ke tubuh Pangeran, Dayang Satyawati menubruk tubuh pangeran hingga keris menancap di punggungnya. Sedetik dia sempat mencium bau keringat Pangeran yang penuh harum mawar, menjilat peluhnya yang masih membalut tubuhnya.
Dayang berteriak menghaduh, Pangeran terbangun sampai Sang Puteri dan Dayang terlempar. Pangeran dalam gelap tangkas berdiri, mencari keris yang tersimpan di atas meja. I Belog terperanjat menyaksikan adegan tak terduga itu dan menusukkan tombaknya di pungung Gusti Agung panglima yang rebah ke lantai.
Suara gaduh membangunkan sejumlah perajurait yang terkantuk-kantuk, lampu minyak di sekitar kamar dinyalakan.
Tak tertolong nyawa Dayang Satyawati, namun matanya menyisakan sinar bahagia telah dapat berbuat baik untuk Pangeran yang dicintainya. I Belog duduk bersimpuh tak bergerak, meminta ampun. Gusti Agung mati dengan mata melotot, tak mengira I Belog yang seharusnya dia bunuh setelah membunuh Pangeran, justru membunuhnya, tetapi tak sempat dia berpikir untuk menyalahkan dirinya sendiri.
Dari hari ke hari, alam tak bersahabat. Gempa bumi, banjir, dan tanah longsor bergantian menerpa. I Belog yang sudah diangkat sebagai Panglima tak juga merasa bahagia, sebab semua sanak-saudaranya masih sehari makan dua hari puasa. Tak tahu apa yang harus diperbuatnya.***
Cerpen Sunaryono Basuki Ks Silakan Simak!
Dimuat di Republika Silakan Kunjungi Situsnya! 07/13/2008